Essai oleh :
Choirul Anam
https://id.pinterest.com/pin/226165212514559526/ |
Desa adalah rahim sebuah bangsa. Ia bagaikan seorang ibu yang pernah melahirkan berbagai kemajuan dan peradaban. Kapal yang berlayar, kereta yang melaju, pesawat yang terbang melesat melawan angin, segala kemajuan yang disandang penduduk bangsa tidak pernah terlepas dari peran desa.
Desa sebagai penyokong bahan baku industri-industri, seperti bayi 2 tahun yang tengah dipapah oleh ibunya. Diberi sesuap bubur setiap pagi hingga ia tumbuh menjadi manusia dewasa yang cerdas dan berwawasan luas.
Desa sebagai penyokong bahan baku industri-industri, seperti bayi 2 tahun yang tengah dipapah oleh ibunya. Diberi sesuap bubur setiap pagi hingga ia tumbuh menjadi manusia dewasa yang cerdas dan berwawasan luas.
Arti desa secara harfiah mengacu pada bahasa sansekerta yang berarti “tanah tumpah darah” yang mana kata itu sendiri hanya dipakai di daerah jawa dan madura. Sedangkan di daerah lain seperti di Aceh, desa disebut Meunasah atau Gampong, di batak namanya Huta, di Sumatra barat namanya Nagari, dll. Namun entah apapun itu, bagi orang desa desa bukan semata-mata tanah yang diatasnya tumbuh pepohonan dan penduduk yang berlalu-lalang mengerjakan sesuatu. Desa adalah ruh yang memberi kehidupan bagi tiap warganya.
Perihal terbentuknya desa hingga sekarang sulit diketahui secara pasti kapan awalnya. Namun berdasarkan bukti empiris, prasasti Kawali di jawa barat (1350 M) serta prasasti Walandit di daerah Tengger, Jawa Timur (1381 M) menunjukan bahwa desa telah ada jauh sebelum negara dengan sistem pemerintahannya itu lahir. Masyarakat desa dengan adat istiadat yang turun temurun diwariskan nenek moyangnya, mengelola tanah, sungai, hutan dan binatang-binatang secara arif tanpa meninggalkan bekas luka.
Masyarakat desa percaya, nyiur melambai hamparan sawah dan rindang rumpun bambu dan pokok-pokok kayu sejatinya adalah pribadi yang hidup. Apa yang kita lakukan pada mereka, hal itulah yang kemudian kita dapatkan. Ibarat manusia, alam memiliki perasaan sedih dan bahagia, seperti halnya tubuh yang bisa merasakan sentuhan lembut dan tamparan kasar. Itulah alasan kenapa desa tempat asal muasalnya peradaban sebuah bangsa perlu untuk diberdayakan, bukan hanya dilestarikan. Alam yang sebagian besar disajikan desa demi tetap bersinarnya lampu-lampu, membaranya kompor-kompor serta menyalanya tivi-tivi kabel di kota tetapi malah menyisakan keterasingan dan kesepian pada desa itu sendiri.
Desa yang pada kenyataannya adalah tempat kembalinya anak kepada seorang ibu kini menyadarkan setiap mata bahwa segala yang terlahir pasti kelak akan berpulang. Bukankah pada hakikatnya setiap orang memiliki hasrat untuk pulang kembali ke rumah. Dan kampung halaman itu yang akan menjadi tempat ia berteduh melepaskan rindu akan sebuah alam yang dihadirkan desa seperti masa kecilnya. Desa haruslah tetap menjadi desa yang kemudian diwariskan kepada anak cucu. Oleh karenanya pada pertemuan Rio+12 Summit tahun 2012 di Brazil, para petinggi negara itu mengharuskan konsep pembangunan yang berkelanjutan.
Begitulah kearifan desa diwariskan secara turun temurun. Anak diajari berbicara oleh ibunya dengan bahasa ibu. Tidak terlepas juga adat istiadat yang dijalani seorang anak, desa menjadi mutiara yang harus dijaga keasliannya. Itulah salah satu makna dari upaya bangsa-bangsa dunia untuk mendewasakan anak memberi segala yang dibutuhkan tanpa melupakan cucu maupun cicitnya sebagai generasi penerus. Sustainabe Development adalah konsep pembangunan masa depan yang telah diusung. Kedengarannya petuah ini sungguh nyaman apabila diterapkan di negara paru-paru dunia seperti Indonesia. Paru-paru yang sehat seperti saat kecil hendaknya diberi asupan buah dan sayur agar kelak ia tumbuh dengan cemerlang. Bukannya mengotorinya dengan aroma racun atau campuran bahan pengawet. Mana ada ibu di dunia ini yang tega melihat anak yang dulu keluar dari rahimnya, semasa dewasa menderita. Aku yakin hal itu tidak akan terjadi pada negeri secantik ini.
Yogyakarta, 07 April 2016, 00:19
Khairul Anam
Belajar di Pesantren Kreatif Baitul Kilmah,
Kasongan Permai.
0 comments