Seekor Kucing Yang Mati Tertabrak Mobil

by - Maret 19, 2018

Sebuah Cerpen

Oleh : Choirul Anam



Betapa kejadian itu tak mudah lekang dari ingatan. Saat Darman melintasi perbukitan antara Sintang dan Sanggau. Jalan lintas Melawi. Saat itu Jalanan lenggang, gelap dan senyap. Diiringi deru mesin dan aroma bensin sebuah mobil. Disertai bau kematian dan darah seekor kucing yang terkapar.

***
Kurang Asam! Teriaknya dalam hati. Setelah menginjak rem dalam-dalam, kedua ban belakangnya gesrot. Gesekan antara karet dan aspal agaknya terlalu kuat sehingga menimbulkan bau hangus menyengat. Tidak disangka, bayang berkelebat yang hampir membuatnya jantungan berhasil dihindari. Di tengah hutan belantara tanpa seorangpun yang menemani.

Memang pada saat nyetir tadi ia agak mengantuk. Maklum ini adalah malam Sabtu di mana para pekerja kantor di pedalaman biasanya lembur dan pulang ke rumahnya masing-masing. Akhir minggu adalah waktu menikmati libur bersama keluarga. Brengsek! Umpatnya tak berkesudahan. Ia memukul-mukul setir seraya turun lantas membanting pintu. Hanya sekedar memastikan kondisi mobil dalam keadaan baik-baik saja. Namun betapa terkejutnya ia ketika memeriksa bagian depan. Seekor Kucing bersimbah darah kejang-kejang, menghembuskan nafas untuk terakhir kalinya.

“Gila. Aku menabrak seekor Kucing” Darman hampir tidak percaya. Tadi di kantor sebelum pulang sebenarnya ia sudah merasakan sesuatu yang ganjil. Sesuatu yang aneh. Yang tidak biasa. Kata orang-orang tua sih itu firasat. Namun ia berfikir itu hanya ketakutan sesaatnya saja. Sepintas lalu. Namun jika firasat yang ia rasakan sore itu adalah terbukti, maka ada alasan untuk membenarkan firasat itu meski hanya kebetulan. Setidaknya begitulah cara orang-orang tua membenarkan teorinya sendiri.

Tapi yang terpenting kali ini adalah apa yang harus Darman lakukan setelah mengetahui bahwa mobilnya baru saja menabrak seekor kucing sampai mati. Ia tahu bahwa dirinya sedang berada di tengah hutan belantara. Perbukitan Sintang membujur dari barat ke timur. Sementara langit membentang menyajikan taburan bintang-bintang seperti wijen. Jam di pergelangan tangannya menunjukkan pukul satu dini hari. Matanya menyapu bersih persekitaran namun tak satupun rumah penduduk ia dapati. Sejauh mata memandang hanya hutan, hutan dan hutan.

Darman masuk lagi ke dalam mobil. Tidak terasa dahinya berkeringat. Dalam kepanikan kecil itu ia tidak bisa berpikir secara jernih. “kenapa harus kucing?” tanyanya dalam hati. Kalau saja yang ditabraknya saat itu adalah babi, musang, atau binatang lain, pasti ia sudah berlalu meninggalkannya.

Ia teringat pada saat usianya masih kanak-kanak, Ustad Haris pernah berkata bahwa kucing adalah salah satu hewan kesayangan nabi. Kemudian diceritakanlah kisah Abu Hurairah yang rela melepaskan bajunya demi menyelimuti seekor anak kucing di kala hujan. Begitu sayangnya ia kepada binatang berbulu lebat itu sampai-sampai ia dijuluki Abu Hurairah, bapak si anak kucing. “hayo, siapa yang di rumah punya kucing piaraan?” Tanya Ustad Haris di suatu sore.

Ketujuh anak yang diajarnya mengangkat telunjuk jari tingi-tinggi sambil tersenyum kecuali dirinya.

“eh? Darman sorang yang takde Kucing kat rumah?”
“tak ustad” Ia menggeleng “bapak dan mamak tak ijinkan Darman simpan kucing kat rumah”
“Oo.. Bapak dan Mamak tak suka Kucing ke?”
“tak ustad” Darman menggeleng lagi. Itulah kenapa sejak kecil Darman tidak begitu suka kucing.

Ustad Haris melanjutkan kisahnya sore itu dengan kesimpulan yang amat menarik. “Meskipun kita tidak suka terhadap kucing, namun paling tidak kita tidak boleh membiarkan kucing tersebut terlantar kelaparan.” Setidaknya begitulah cara Ustad Haris menutup pengajiannya setiap sore. Selalu ada petuah-petuah bijak dari kisah-kisah yang diceritakannya.

Namun itu dua puluh tahun lalu. Kalau saja Ustad Haris ada di jalanan perbukitan Sintang bersama Darman waktu itu, pastilah Darman sudah disuruh untuk menguburkan kucing mati itu. Namun suasana sepi, gelap dan sendiri di tengah hutan belantara membuat Darman merasa kerdil. Nyalinya kali ini benar-benar ciut, benar-benar tidak sepadan dengan pundaknya yang kian tumbuh kekar.

Belum ada satupun kendaraan melintas di jalanan lengang itu. Ingin rasanya ia segera menghidupkan mobil, menginjak pedal gas kuat-kuat, dan segera meninggalkan tempat terkutuk itu. Persetan dengan kucing mati. Salah sendiri sudah tahu jalan raya, ada mobil kencang masih juga nyebrang tanpa menengok.

Namun di sisi lain ia tidak tega meninggalkan kucing itu tergeletak di jalanan begitu saja. Sedikit banyak hal itu tidak terlepas dari kelalaiannya dalam mengemudi. Ngebut. Ngantuk. Arghh! Peristiwa menabrak kucing itu membuatnya diliputi perasaan bersalah yang amat sangat.

Darman mengacak-acak rambutnya sendiri. Kini dua perasaan membimbangkannya secara bersamaan. Dan mau tidak mau saat ini juga ia harus mengambil keputusan. Di satu sisi ia merasa bahwa kematian kucing itu bukan salahnya. Di sisi lain ia merasa bersalah kalau meninggalkan kucing itu begitu saja.

Tiba-tiba layar ponsel di dashboard mobilnya bordering. Mama. “halo Ma” Darman langsung mengangkatnya.

“Pa, kok belum sampai rumah juga?”
“Iya nih ma, di batu sepuluh jalan perbukitan Sintang, papa langgar kucing sampai mati.”
“Ya Alloh Papa.. segera kubur Pa, kucingnya”
“Emang kenapa ma?”
“Pokoknya mama tak nak terjadi sesuatu sama Papa, segera kubur, segera balik”

Klik. Panggilan pun dihentikan. Alih-alih menanyakan anak gadisnya apakah sudah tidur atau belum. Kalimat terakhir istrinya malah semakin membuat persendian kaki Darman melemas. Ia memang pernah mendengar cerita dari mulut ke mulut di kampungnya. Ada orang yang setelah menabrak kucing tidak mau menguburkan. Tidak lama setelah itu, ia terus dihantui suara kucing. Kepalanya dipenuhi suara meong-meong tak berkesudahan. Hingga akhirnya diapun menjadi gila.

Tapi lagi-lagi Komat mengingat. Di sebuah pedalaman Kalimantan, ada beberapa orang di sebuah kampung yang makan daging kucing. Kucing liar yang hidup di tepi hutan itu ditangkap, disembelih, dan diolah layaknya daging ayam. Dan selama bertahun-tahun tidak pula terjadi apa-apa pada mereka. Bahkan pernah suatu hari mereka menawarkan makan bersama dengan lauk kucing ketika berkunjung di kampung itu.

Lama Darman berpikir hingga akhirnya sampailah ia pada kesimpulan untuk menguburkan kucing itu saat itu juga. Dengan tangan gemetar, ia mengangkat kucing mati itu dengan sebuah jaket. Diletakannya kucing itu pada bagian tanah yang tidak rata. Diambilnya linggis kecil dari dalam mobil dan mulailah ia menggali, menggali dan terus menggali.

Sampai pada kedalaman tertentu ia berhenti. Dipindahkannya kucing lemas itu ke dasar lubang dengan sangat hati-hati. Entah kenapa, saat menutup tubuh kucing itu dengan jaket yang telah bersimbah darah, Darman teringat akan anak gadisnya yang sedang tidur nyenyak di rumah. “Apakah kucing ini juga memiliki keluarga?” tanyanya dalam hati.

Ia mengubur kucing itu dengan rasa takut bercampur iba. Di tengah hutan belantara, di bawah lagit bertabur bintang, dan tidak ada siapapun di sana.

Setelah dirasa tumpukan tanah itu cukup tinggi, ia menancapkan sebuah ranting akasia tua yang telah patah. Ditaburkannya dedaunan pakis kering. Kemudian ia berdoa ala kadarnya. Terbesit perasaan aneh dalam hati saat ia tengah menyudahi prosesi pemakaman kucing itu. Pertama, bukannya ia hanya seekor kucing. Lagipula kenapa ia menguburkannya bagaikan ia seorang manusia. Kedua, selama proses penguburan dari awal sampai akhir, seperti ada yang sedang memerhatikannya. Tetapi entah siapa.

Baru ketika ia berbalik hendak masuk ke dalam mobil, seekor kucing abu-abu beridiri mematung di seberang jalan. Rupanya ia yang sedari tadi memerhatikannya.

“Kau siapa?” Tanya Darman. Ia bersikap tak acuh sembari masuk ke dalam mobil. Membuka kaca jendela. Melihat kucing yang dari tadi terus mematung itu. Sedikit menyeramkan sih tapi tidak menjadi masalah. Baginya, malam terburuk karena harus mengubur seekor kucing seorang diri di tengah hutan belantra berakhir sudah sampai di sini. Tepat jam 3 dini hari ia harus segera pulang dan menceritakan semua yang terjadi kepada istrinya.

Anehnya, kucing di seberang jalan itu masih saja tidak beranjak dari tempatnya semula. Kedua sorot matanya lurus ke arah Darman. Seperti entah memendam perasaan apa. Atau barangkali ia adalah salah satu anggota keluarga kucing yang mati tadi. Betapa menyedihkannya kucing itu jika harus menanggung hidup sebatang kara karena salah satu atau mungkin satu-satunya anggota keluarga telah tiada.

“Tapi itu bukan salahku” ucap Darman tiba-tiba. Mesin mobilnya sudah meraung-meraung. Sejengkal saja ia melepaskan telapak sepatunya dari pedal rem, mobilnya akan melaju kencang menelusuri jalanan. Tapi lagi-lagi hati kecilnya iba melihat kucing itu. Apakah kali ini ia benar-benar sebatang kara gara-gara kucing satunya ditabrak. Lagipula kejadian tadi juga sudah terlanjur. Ia tidak mungkin bisa menghidupkan kucing mati itu.

Darman mengusap wajahnya menenangkan diri. Digesernya perseneleng mobil ke mode parkir. Dibukakanlah pintu mobil tengah seraya memberi isyarat kepada kucing itu agar masuk ke dalam. “Barangkali kau akan punya keluarga jika ikut ke rumah” ucapnya “biar nanti gadis kecilku yang akan memberimu nama.” “kau akan aku anggap seperti keluarga sendiri”imbuhnya. kucing itu pun bangkit seraya berjalan menuju mobil. Namun naas ketika tengah menyebrang, sebuah mobil dari arah utara melaju kencang. Tanpa ampun mobil hitam pekat itu menabrak si kucing hingga terpental beberapa meter ke bahu jalan. Beberapa detik kemudian kucing itu mati. Dan suara mobil hitam pekat tadi perlahan hilang ditelan hutan juga perbukitan.

“Kurang asam” teriak Darman memaki.

***

Pendowoharjo, 12 Maret 2018

You May Also Like

0 comments