Tebu dan Makam di Tengah Sawah

by - Maret 19, 2018



Sebuah Cerpen
oleh: Choirul Anam



Karmin berjalan menuju gubug dengan langkah tergesa. Dihampirinya Janadi yang siang itu tengah bersandar di dinding bambu, mencari angin. “Jan, aku mau bicara denganmu, penting!” Karmin meletakkan parangnya di atas balai-balai bambu. Nafasnya masih tersengal. Nampaknya ia baru saja mengambil jeda mengurus ladang tebunya.

“Bicara apa lek?” Janadi tidak menoleh. Pandangannya tersapu pada kuncup-kuncup tebu yang terombang-ambing tertiup angin. Mungkin dalam benaknya, begitulah pikirannya sekarang. Serba tidak menentu.

Pukul sepuluh pagi. Biasanya Ro’idah, bininya, menyusul ke ladang sambil membawakan rantang yang berisi nasi. Bukan hanya nasi, tetapi juga lauk pindang, sambal tempe, dan sayur bening kesukaannya. Namun Ro’idah sedang tersungkur malam tadi. Demam.

“Aku dengar” Karmin menoleh ke kanan dan ke kiri, takut-takut ada orang yang mengawasi “Kamu mau menjual ladang tebu ini ke pabrik?” Karmin langsung menuju ke topik pembicaraan.

Janadi terdiam.

Bulan lalu, Pak Kaji, menjual ladang tebunya yang berukuran dua hektar kepada Pabrik. Alasannya, ladang miliknya akan dipasangi rel. Yang akan dilalui lokomotif pengangkut tebu. Tentu saja, harganya tidak seberapa. Namun harga gula yang akhir-akhir ini fluktuatif membuat Pak Kaji tidak mau ambil pusing.

Minggu lalu, Kamal, yang ladangnya tidak lebih dari satu hektar juga menjualnya. Ladang tebu di sampingnya yang milik pabrik, digarap dengan mesin-mesin canggih yang didatangkan dari Belanda. Sementara Ia hanya bermodalkan cangkul dan sekop. Ia mengeluh selalu tombok ketika panen. 

Janadi memandangi tebu-tebu di ladangnya yang sudah mulai meninggi. “Sebentar lagi lek” ucapnya datar.

“Jan” seru karyamin “kamu lihat itu kan” jarinya menunjuk pada sebidang tanah yang tidak rata di tengah rerumpunan tebu. bergunduk-gunduk diselingi tancapan kayu-kayu yang sudah lapuk.

“Aku khawatir Jan, jika kamu menjualnya kepada pabrik, mereka akan menggusur makam-makam itu.”

Janadi menatap wajah Karmin lamat-lamat.

“Lantas aku harus menjualnya kepada siapa lek?”

Karmin tidak menjawab.

Pemakaman tua itu memang berada tepat di tengah ladang Janadi. Bahkan sebelum ladang itu diwariskan oleh orangtuanya. Kuburan-kuburan itu telah lebih dulu menggunduk di tengah persawahan. Tidak jelas memang siapa pemiliknya. Namun tetap saja, bukan hal mudah, menjual ladang yang menyimpan pekuburan orang.

“Aku cuma takut kamu kena kenapa-napa Jan” suara Karmin memelan. “Kamu tahu kan akibatnya?”

Janadi mendengar.

“Kamu itu, sudah aku anggap seperti anakku sendiri.”

“Terimakasih lek” Janadi memperbaiki sandaran duduknya. Angin sawah membelai rambutnya yang ikal. “Saya juga tidak akan bertindak sembrono, lek. Saya takut kualat.”

Karmin sedikit lega mendengar keputusan Janadi.

“Tapi mau bagaimana lagi lek,”

Karmin buru-buru menoleh, kedua alis matanya seolah beradu.

“Saya selalu tombok setiap panen, hasil penjualan tebu tidak sebanding dengan biaya yang saya keluarkan” keluh Janadi.

Karmin mangut-mangut.

“Saya sebenarnya sudah lama ingin meratakan kuburan yang hanya lima buah itu”

Bola mata Karmin membundar. Seolah tidak percaya dengan apa yang dikatakan janadi.

“Kamu tahu kan Jan, salah satu kubur itu milik siapa”

Janadi manyun, memandang anyaman pandan yang menyelimuti balai-balai bambu. Gubugnya yang setinggi tiga meter menyuarakan gesekan-gesekan lembut.

Danyang

Danyang dusun kita”

Janadi menatap lamat-lamat kuburan itu satu persatu. Diantara lima itu, ada salah satu yang terlihat membukit dipayungi pohon pepaya. Satu kubur itulah yang membuat dirinya berkali-kali berfikir ulang saat hendak menindak makam-makam itu.

Mereka berdua saling bertatapan.

“Jangan sampai mengorbankan nenek moyang kita sendiri” ujar Karmin teguh “tapi kau juga harus hati-hati dengan politik pabrik”

Janadi berkerut dahi, menurutnya urusannya ini sudah ruwet. Apalagi kalau ditambah dengan provokasi karmin yang terkenal mbulet itu. Bisa jadi tambah runyam.

“Saya mau pulang dulu lek, biniku meringkuk di kamar, demam.” Janadi menuruni tangga bambu. Meninggalkan Karmin yang masih duduk di atas gubug kecil.

Keesokan paginya Janadi menemui Kang Barjo di rumahnya. Syukur Kang Barjo selalu menyambutnya dengan hangat. Sehangat uang yang diterimanya setiap kali panen.

“kapan nebang, Jan?” Kang Barjo menyulut rokoknya. Duduk teratur di emperan setiap pagi.

“Belum tahu Kang, bingung mau nyari utangan kemana?”

“Lha, biasanya kemana?”

“biasanya sih saya hutang ke Pak lurah, kang, tapi berhubung minggu depan beliau punya gawe, jadi..” kata-katanya tertahan.

Kang Barjo mengangguk-angguk seolah sudah mengerti kemana arah pembicaraan Janadi.

Sebagai salah satu mandor di Pabrik Gula, Ia memiliki kewenangan meminjamkan uang kepada para petani tebu yang membutuhkan. Tapi sayang. Uang itu selalu dibisniskan.

“Butuh berapa kamu?”

“Sepuluh juta, kang”

Kang Barjo membenamkan putung rokoknya kemulut asbak. Ia tertawa getir. Disambung dengan bahak yang amat melecehkan.

“Kamu tahu kan, peraturannya”

Janadi menelan ludah.

“limapuluh persen”

Janadi melelehkan pundaknya. Belum tentu harga gula musim ini lebih bagus dari musim kemarin. Tahun lalu ketika ia berhutang kepada pak lurah, harga gula sedang turun drastis. Sontak ia rugi. Masih baik Pak lurah tidak meminta bunga.

“Tolonglah Kang, jangan sebesar itu” Janadi memelas.

Kang Barjo membelak tajam. Kedua matanya melotot.

“KAMU INI MAU HUTANG APA TIDAK?”

Janadi meremas jari-jarinya, sungguh kini ia benar-benar seperti berada di pucuk batang tebu. Terombang-ambing.

Kalau ditunda lagi, tebu-tebu itu akan semakin menua. Dan kalau terlalu tua rendemennya tidak cukup bagus. Dan harga jualnya juga pasti akan menurun.

Tapi…

“Kalau tidak” mandor Barjo menahan kata-katanya sejenak “Kamu jual saja ladangmu itu kepada pabrik”.

Kata-kata itu bagaikan petir yang menyambar telinga Janadi.

“Aku beri kamu waktu tiga hari untuk memikirkannya”

Ia betul-betul tidak habis pikir. Betulkah ini ada hubungannya dengan politik pabrik. Ia masih terngiang-ngiang akan ucapan Karmin kemarin.

Janadi pulang dengan tangan hampa. Mandor Barjo memberinya pilihan yang tidak masuk akal. 

Siang itu juga Karmin menemuinya di Gubug.

Janadi memandangi hamparan tebu di ladang yang sudah mulai berbunga. Glugu. Bunga-bunga itu memang terlihat indah. Seperti tertancap di batang-batang tebu. melambai-lambai tertiup angin. Putih ujungnya bagaikan ilalang. Bocah-bocah berlarian memotong Glugu sambil bermain panah-panahan.

“Mungkin ada benarnya memang” kata Janadi tiba-tiba.

Karmin menyimak dengan seksama.

“Kita adalah petani tebu, tapi tidak pernah menikmati manisnya gula”.

Angin utara berhembus pelan, menerbangkan selampar-selampar kering ke segala arah. Suasana mendadak berubah, mellow.

Karmin membuntuti mata janadi. Ia sepertinya sudah pasrah. Mengadu pasal utangan yang tidak kunjung didapatkannya.

Pak lurah lusa akan menanggap orkes. Pantas saja musim ini Janadi tidak mendapat utangan. Ia mengeluh pelan. Sedangkan Kang Barjo, orang sekampung tahu sendiri bagaimana tabiatnya. Kemudian Karmin, ah, Karmin cuma orang-orang kebanyakan. Nasibnya, tidak jauh berbeda dengan dirinya.

“Mungkin kamu harus memutar sudut pandangmu, Jan” ujar Karmin.

“Sudut pandang bagaimana, lek?”

“Tebu, sebelum menjadi gula, harus mau digilas dulu oleh mesin-mesin pabrik”

Janadi berfikir diam. Bola matanya menerawang, mencari-cari maksud pembicaraan Karmin.

“Orang, sebelum dapat menikmati manisnya hidup, harus rela merasakan pahit terlebih dahulu”

“Jadi begitu filosofinya”

Bisa jadi, barangkali Karmin sedikit banyak mewarisi darah seorang filusuf.

***

Tiga hari kemudian, tepatnya malam Senin, warga dusun semua diundang ke tasyakuran pak lurah. Panggung selebar limabelas meter digelar. Grup orkes dari kota didatangkan. Siap menghibur warga dusun yang bulan-bulan ini sedang panen tebu.

Tetapi Janadi lunglai, ia tidak kelihatan bergairah sebagaimana bila ada pagelaran orkes. Sejak tebunya berbunga, Ia belum juga bisa memilih. Alternatifnya terasa begitu pelik. Bagai memakan buah simalakama.

Tebu-tebu itu selalu membayang di kepalanya, tapi makam-makam itu, tak luput menghantui dirinya sendiri. Ditambah lagi soal Kang Barjo.

Dan tawaran itu. Besok adalah yang terakhir. Namun cerita Karmin soal danyang dusun?

“Tidak ikut menonton, Mas?” Tanya bininya yang baru saja keluar dari kamar. Aroma pandan menyeruak hidung, pastilah ia lekas berdandan.

“Kamu pergilah dulu, kepalaku masih pusing” keluh Janadi mengusap-ngusap ubun-ubunya.

Sementara bininya meninggalkan rumah sembari menggandeng anaknya yang bungsu. Dangdut di rumah Pak lurah terdengar mulai didendangkan.

Berlangsung satu lagu. Dua lagu. Tiga lagu. Janadi masih mendengar iramanya sayup-sayup.

Pak lurah pun tidak ketinggalan ikut menyumbangkan suara peraknya. Meski sedikit sumbang. Tapi karena ia yang punya hajat. Penonton senang-senang saja. “Anggap saja itu bayaran, Hahaha” teriak Karmin, mengambil posisi paling depan. 

Namun tiba-tiba Pak lurah berhenti menyanyi. Mic yang digenggamnya seketika terjatuh. Matanya membulat memandang jauh ke suatu arah. “Apa itu?” desisnya.

Musik pun berhenti. Para pemain menyusul bengong melihat sesuatu yang tidak biasa. Penonton pun dengan gamang menolehkan kepalanya ke belakang.

Terlihat asap pekat mengepul ke udara. Langit kelam yang malam itu lengang diwarnai kobaran api yang merah. Warga yang sedari tadi berkumpul di depan panggung berhambur ke lokasi kejadian.

Kobongan.. Kobongan..” warga berduyun-duyun ke sawah belakang dusun sambil memukul kentongan.

Ladang tebu terbakar. Asap hitam pekat mengepul ke udara, Kobaran api terlihat menjilat-jilat.

Langes, daun tebu yang terbakar berterbangan. Berhamburan ke udara.

Tidak sedikit warga yang ikut memadamkan api, termasuk Karmin. Ia gelagapan melihat kuburan-kuburan turut terlahap kobaran api. Dari kejauhan, ia mendengar suara seseorang bagai ringkikan.

***


Yogyakarta, 21 September 2015

Choirul Anam
Belajar menulis di Pesantren kreatif
Baitul Kilmah, Kasongan Permai.

You May Also Like

0 comments