Sebuah Cerpen
Oleh: Khoirul Anam
Di bawah neon kecil, dapur sempit, meja bundar dengan taplak kusam penuh lobang. Malam itu kami duduk teratur mengelilingi meja makan. Meskipun kami tahu, tidak ada hidangan makan malam tersaji. Kalaupun ada, itu hanya nyamikan sisa jamuan para tetangga yang barusaja dating melayat.
Kenangan masaitu, masih menggelayut di langit-langit atap kami. Wajah nenek yang bersih dan selalu tersenyum. Jarit yang ia kenakan, manisan yang kerap ia bagikan, tembang yang sering ia dendangkan. Membekas memenuhi udara dan merasuk menggenangi ruang dada. Satu per satu membayang menusuk jantung hingga akhirnya memaksa bulir-bulir air mata tumpah keluar dari sarangnya.
Bapak, laki-laki tua berwajah gelap berpundak kekar adalah ketua Reuni ini. Di rumah bambu, berlantai semen diterangi lampu neon lima watt. Yang kemarin baru saja didatangi kerabat dan tetangga untuk berbela sungkawa. Reuni ini adalah reuni di rumah duka. Dihadiri anggota keluarga kami, Mumun, Rahman, Bik Munah, Bapak, Ibu dan Aku.
Hening. Tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut kami. Kecuali bunyi dehem dari bapak yang kondisinya memburuk akhir-akhir ini. Kami hanya bisa saling menatap. Dengan pandangan surut seperti senter redup yang bohlamnya hampir padam.
Kami bagaikan seonggok batang pohon, yang mengelilingi meja bundar. Sayup-syaup di tengah keheningan.
Cangkir yang tersedia di hadapan kami masing-masing mulai dikucuri teh, Ibu yang menuangkannya. Teh buatan Ibu, memang terkenal enak. Manis. Legit. Dan wangi. Masih tebal dalam ingatanku semasa kecil setiap pagi sebelum Bapak berangkat ke sawah, aku selalu mencuri-curi teh yang tengah Ibu siapkan untuk bapak. Sedangkan susu putih yang sengaja disediakan kuberikan pada kucing peliaraanku. Sedap memang, meski hanya sekali menyeruputnya atau menghirup aromanya saja.
Sejak kecil, aku memang lebih menyukai teh ketimbang jenis minuman lain apapun. Begitupula dengan generasi keluarga kami. Tidak ada yang lebih disukai daripada secangkir teh buatan Ibu. Apalagi nenek yang saat itu meski usianya tengah lanjut tetapi masih bugar dalam soal mencicipi rasa. Ia sungguh gemar menikmati secangkir teh sambil bercengkrama di meja makan. Persis seperti apa yang sedang kini kami lakukan.
Meski hal itu kini menjadi kenangan dan tak mungkin lagi terulang.
Ibu mulai menggeser bangku duduknya, mencoba sepelan mungkin duduk seakan-akan takut mengusik keheningan yang lebih dulu kami ciptakan sebelumnya. Kami agaknya sadar, perkumpulan ini tidak lebih dari sekedar reuni di rumah duka. Ada banyak hidangan yang kelak akan disajikan dalam perkumpulan sederhana ini. Walaupun, hidangan itu tidak bisa menambal perut kami yang lapar.
Seperti biasa, jika tidak ada sesuatu yang bisa dihidangkan sebagai pembuka, bapak akan mengawalinya dengan sebuah kisah. Kisah dimana mata kami saat itu akan tertuju ke suatu tempat antah berantah. Petualangan. Pengasingan. Perjuangan. Atau makna hidup atau yang lain. Dan kami akan menyimaknya secara seksama sebelum Ibu menuangkan teh kedalam cangkir-cangkir di meja bundar ini.
Tetapi malam ini, ah, aku tahu kisah apa yang akan disampaikan oleh sang ketua reuni itu. Tidak ada tentang negeri antah berantah atau perjuangan hidup di masa muda. Yang ada hanya sepotong kenangan yang kini telah tersaji di meja makan.
“Nenek kalian” suara bapak tertahan pada kalimat itu. Aku tahu butuh perjuangan yang ekstra untuk meneruskan patahan-patahan kalimat yang mungkin tidak tersusun secara rapi. Yang seolah-olah kata itu membuat rongga dadanya mendadak sesak karena saking penuhnya kenangan yang hendak dibagikan kepada kami di meja makan itu.
“Nenek kalian telah pergi meninggalkan kita semua” ujar bapak kemudian, “banyak dari kita mungkin tidak sadar kalau nenek adalah orang yang sangat berjasa dalam keluarga kita akhir-akhir ini”
Mataku membulat lebar. Kini kepalaku dihinggapi berpuluh-puluh pertanyaan yang menyeruak. Jasa apakah yang telah diberikan nenek kepada bapak, atau setidaknya bagi kita sekeluarga. Semua pasang mata menyorot pada suatu titik dimana bapak sedang duduk sembari menelungkupkan kedua belah tangannya. Kecuali ibu yang sedari tadi diam mendengarkan apa yang telah diketahuinya.
Kami tahu diantara kami, hanya Ibu, Bapak, dan Rahman yang tinggal bersama nenek sehari-hari. Selebihnya kami merantau.
“Semenjak bapak jatuh sakit, nenek membiarkan seluruh perhiasannya dijual agar kita bisa tetap makan. Padahal dia tahu, perhiasan-perhiasan itu adalah peninggalan kakek yang paling berharga. Kita semua disini tahu, nenek kalian sangat mencintai kakek kalian. Pernah dulu semasa kakek kalian telah meninggal, dan kita tahu pada saat itu usia nenek sudah tidak muda lagi, nenek kalian dipinang oleh juragan kaya dari desa sebelah. Saking kayanya, konon harta bendanya tidak akan habis hingga tujuh turunan. Tapi nenek kalian menolak.”
Kami mulai mengerti sekarang. Jadi sebab itulah, sebelum meninggal nenek berwasiat agar kelak ia dimakamkan tepat disamping kuburan kakek. Aku pun paham. Sebagai perempuan, nenek pasti ingin bersanding selamnya di alam baka dengan lelaki yang dicintai semasa hidupnya.
Seperti kisah-kisah yang selalu dihidangkan bapak di meja makan lama sebelum aku dan Mumun beranjak dewasa. “Dalam keluarga kita, yang terpenting adalah kebersamaan. Tidak terbilang berapa jumlah uang yang kita punyai, tapi kalau itu membuat kita bercerai berai, lebih baik kita miskin asalkan tetap saling bersama”.
Ucapan bapak itu bagaikan pisau, begitu menusuk relung terdalam hatiku. Bagaimana tidak, diantara keluarga kami akulah anak yang tidak pernah pulang kerumah. Kecuali pada saat lebaran. Dan siapa sangka lebaran lalu menjadi lebaran terakhir bagiku untuk bisa melihat wajah hangat nenek yang bersih dan selalu tersenyum.
Dalam benakku terbayang, alangkah eloknya andai saja nenek menerima tawaran kahwin dengan juragan itu. Pasti sekarang hidupnya sangat bersahaja, mewah dan serba tidak kekurangan.
Namun takdir sering berkata lain. Sampai hidupnya berakhir, kami masih tetap miskin dan tidak memiliki apa-apa. Hanya beberapa peninggalan kakek masih tersimpan rapi dalam balutan kenangan Nenek.
Kupandangi seduhan teh yang menggenangi cangkir di atas meja bundar. Di depan wajahku, ku lihat bayangan nenek terpampang berlari-lari di tengah taman yang asri. Hamparan perdu laksana lautan bergelombang tertiup angin. Disana kulihat sesosok laki-laki berwajah hangat menanti dibawah sebatang pohon rindang. Perempuan itu, ditungguinya penuh rasa bahagia. Ia berlari sambil menjinjing kedua roknya. Alangkah romantisnya. Kurasa mereka berdua sangat bahagia sekarang. Aku tersenyum riang, memandang permukaan teh pada cangkir yang disediakan Ibu.
Gamping, 8 Maret 2016
Choirul Anam
Belajar menulis di Pesantren Kreatif Baitulkilmah
Kasongan Permai
0 comments