• Beranda
  • Kamar
    • Kamar Fiksi
    • Kamar Non-fiksi
  • Balkon
    • Ruang Santai
    • Ruang Pertemuan
    • Ruang Tokoh
  • Perpustakaan
    • Rak Sastra
    • Rak Saintek
    • Rak Agama
    • Rak Humaniora
  • Dapur
    • Tempat Masak
    • Wastafel
    • Rak Piring
    • Meja Makan
    • Ruang Pribadi
    • Musholla
Pinterest Twitter Intagram Facebook

Ketika Santri Bersastra

"sebuah upaya menerjemahkan cinta Tuhan melalui serangkaian kata-kata"

Essai oleh :
Choirul Anam

https://id.pinterest.com/pin/226165212514559526/


Desa adalah rahim sebuah bangsa. Ia bagaikan seorang ibu yang pernah melahirkan berbagai kemajuan dan peradaban. Kapal yang berlayar, kereta yang melaju, pesawat yang terbang melesat melawan angin, segala kemajuan yang disandang penduduk bangsa tidak pernah terlepas dari peran desa.
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Sebuah Cerpen
Oleh: Khoirul Anam

https://id.pinterest.com/pin/75083518758181390/


Di bawah neon kecil, dapur sempit, meja bundar dengan taplak kusam penuh lobang. Malam itu kami duduk teratur mengelilingi meja makan. Meskipun kami tahu, tidak ada hidangan makan malam tersaji. Kalaupun ada, itu hanya nyamikan sisa jamuan para tetangga yang barusaja dating melayat.

Kenangan masaitu, masih menggelayut di langit-langit atap kami. Wajah nenek yang bersih dan selalu tersenyum. Jarit yang ia kenakan, manisan yang kerap ia bagikan, tembang yang sering ia dendangkan. Membekas memenuhi udara dan merasuk menggenangi ruang dada. Satu per satu membayang menusuk jantung hingga akhirnya memaksa bulir-bulir air mata tumpah keluar dari sarangnya.

Bapak, laki-laki tua berwajah gelap berpundak kekar adalah ketua Reuni ini. Di rumah bambu, berlantai semen diterangi lampu neon lima watt. Yang kemarin baru saja didatangi kerabat dan tetangga untuk berbela sungkawa. Reuni ini adalah reuni di rumah duka. Dihadiri anggota keluarga kami, Mumun, Rahman, Bik Munah, Bapak, Ibu dan Aku.

Hening. Tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut kami. Kecuali bunyi dehem dari bapak yang kondisinya memburuk akhir-akhir ini. Kami hanya bisa saling menatap. Dengan pandangan surut seperti senter redup yang bohlamnya hampir padam.

Kami bagaikan seonggok batang pohon, yang mengelilingi meja bundar. Sayup-syaup di tengah keheningan.

Cangkir yang tersedia di hadapan kami masing-masing mulai dikucuri teh, Ibu yang menuangkannya. Teh buatan Ibu, memang terkenal enak. Manis. Legit. Dan wangi. Masih tebal dalam ingatanku semasa kecil setiap pagi sebelum Bapak berangkat ke sawah, aku selalu mencuri-curi teh yang tengah Ibu siapkan untuk bapak. Sedangkan susu putih yang sengaja disediakan kuberikan pada kucing peliaraanku. Sedap memang, meski hanya sekali menyeruputnya atau menghirup aromanya saja.

Sejak kecil, aku memang lebih menyukai teh ketimbang jenis minuman lain apapun. Begitupula dengan generasi keluarga kami. Tidak ada yang lebih disukai daripada secangkir teh buatan Ibu. Apalagi nenek yang saat itu meski usianya tengah lanjut tetapi masih bugar dalam soal mencicipi rasa. Ia sungguh gemar menikmati secangkir teh sambil bercengkrama di meja makan. Persis seperti apa yang sedang kini kami lakukan.

Meski hal itu kini menjadi kenangan dan tak mungkin lagi terulang.

Ibu mulai menggeser bangku duduknya, mencoba sepelan mungkin duduk seakan-akan takut mengusik keheningan yang lebih dulu kami ciptakan sebelumnya. Kami agaknya sadar, perkumpulan ini tidak lebih dari sekedar reuni di rumah duka. Ada banyak hidangan yang kelak akan disajikan dalam perkumpulan sederhana ini. Walaupun, hidangan itu tidak bisa menambal perut kami yang lapar.

Seperti biasa, jika tidak ada sesuatu yang bisa dihidangkan sebagai pembuka, bapak akan mengawalinya dengan sebuah kisah. Kisah dimana mata kami saat itu akan tertuju ke suatu tempat antah berantah. Petualangan. Pengasingan. Perjuangan. Atau makna hidup atau yang lain. Dan kami akan menyimaknya secara seksama sebelum Ibu menuangkan teh kedalam cangkir-cangkir di meja bundar ini.

Tetapi malam ini, ah, aku tahu kisah apa yang akan disampaikan oleh sang ketua reuni itu. Tidak ada tentang negeri antah berantah atau perjuangan hidup di masa muda. Yang ada hanya sepotong kenangan yang kini telah tersaji di meja makan.

“Nenek kalian” suara bapak tertahan pada kalimat itu. Aku tahu butuh perjuangan yang ekstra untuk meneruskan patahan-patahan kalimat yang mungkin tidak tersusun secara rapi. Yang seolah-olah kata itu membuat rongga dadanya mendadak sesak karena saking penuhnya kenangan yang hendak dibagikan kepada kami di meja makan itu.

“Nenek kalian telah pergi meninggalkan kita semua” ujar bapak kemudian, “banyak dari kita mungkin tidak sadar kalau nenek adalah orang yang sangat berjasa dalam keluarga kita akhir-akhir ini”

Mataku membulat lebar. Kini kepalaku dihinggapi berpuluh-puluh pertanyaan yang menyeruak. Jasa apakah yang telah diberikan nenek kepada bapak, atau setidaknya bagi kita sekeluarga. Semua pasang mata menyorot pada suatu titik dimana bapak sedang duduk sembari menelungkupkan kedua belah tangannya. Kecuali ibu yang sedari tadi diam mendengarkan apa yang telah diketahuinya.

Kami tahu diantara kami, hanya Ibu, Bapak, dan Rahman yang tinggal bersama nenek sehari-hari. Selebihnya kami merantau.

“Semenjak bapak jatuh sakit, nenek membiarkan seluruh perhiasannya dijual agar kita bisa tetap makan. Padahal dia tahu, perhiasan-perhiasan itu adalah peninggalan kakek yang paling berharga. Kita semua disini tahu, nenek kalian sangat mencintai kakek kalian. Pernah dulu semasa kakek kalian telah meninggal, dan kita tahu pada saat itu usia nenek sudah tidak muda lagi, nenek kalian dipinang oleh juragan kaya dari desa sebelah. Saking kayanya, konon harta bendanya tidak akan habis hingga tujuh turunan. Tapi nenek kalian menolak.”

Kami mulai mengerti sekarang. Jadi sebab itulah, sebelum meninggal nenek berwasiat agar kelak ia dimakamkan tepat disamping kuburan kakek. Aku pun paham. Sebagai perempuan, nenek pasti ingin bersanding selamnya di alam baka dengan lelaki yang dicintai semasa hidupnya.

Seperti kisah-kisah yang selalu dihidangkan bapak di meja makan lama sebelum aku dan Mumun beranjak dewasa. “Dalam keluarga kita, yang terpenting adalah kebersamaan. Tidak terbilang berapa jumlah uang yang kita punyai, tapi kalau itu membuat kita bercerai berai, lebih baik kita miskin asalkan tetap saling bersama”.

Ucapan bapak itu bagaikan pisau, begitu menusuk relung terdalam hatiku. Bagaimana tidak, diantara keluarga kami akulah anak yang tidak pernah pulang kerumah. Kecuali pada saat lebaran. Dan siapa sangka lebaran lalu menjadi lebaran terakhir bagiku untuk bisa melihat wajah hangat nenek yang bersih dan selalu tersenyum.

Dalam benakku terbayang, alangkah eloknya andai saja nenek menerima tawaran kahwin dengan juragan itu. Pasti sekarang hidupnya sangat bersahaja, mewah dan serba tidak kekurangan.

Namun takdir sering berkata lain. Sampai hidupnya berakhir, kami masih tetap miskin dan tidak memiliki apa-apa. Hanya beberapa peninggalan kakek masih tersimpan rapi dalam balutan kenangan Nenek.

Kupandangi seduhan teh yang menggenangi cangkir di atas meja bundar. Di depan wajahku, ku lihat bayangan nenek terpampang berlari-lari di tengah taman yang asri. Hamparan perdu laksana lautan bergelombang tertiup angin. Disana kulihat sesosok laki-laki berwajah hangat menanti dibawah sebatang pohon rindang. Perempuan itu, ditungguinya penuh rasa bahagia. Ia berlari sambil menjinjing kedua roknya. Alangkah romantisnya. Kurasa mereka berdua sangat bahagia sekarang. Aku tersenyum riang, memandang permukaan teh pada cangkir yang disediakan Ibu.



Gamping, 8 Maret 2016

Choirul Anam
Belajar menulis di Pesantren Kreatif Baitulkilmah
Kasongan Permai
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Sebuah Puisi
oleh : Choirul Anam

https://id.pinterest.com/pin/231442868329241825/


Kutemukan kau dalam sebuah buku usang
Tertimbun kata, tinta dan pena
Tergambar samar oleh jari-jari sang penyair

Sebelum puisi itu tersaji
Imajinasiku tumpah menjelma balutan kertas kusam
Membaur bersama angan-angan temaram

Andaikan aku jadi engkau
Akan kutulis sajak-sajak
Dalam kucuran arak dan semarak

Engkau pun kini jadi aku
Dan kau baca ribuan puisi-puisi itu
Tenggelam dalam hasrat penuh syahwat
Memuntahkan inspirasi dalam rangkaian kalimat

Senja takkan berubah jadi fajar
Selama buku tua itu masih membatu
Diam dan bisu


Yogyakarta, Maret 2016

Choirul Anam
Belajar Menulis di Pesantren Kreatif Baitulkilmah
Kasongan Permai
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Sebuah Puisi oleh : Choirul Anam



Ia duduk di tepian waktu 
Menunggu sepucuk surat mendarat 
Dari sebuah tempat penuh kesumat 
pada malam mencari hasrat 

Ia terjaga di sepanjang tidur 
Menunggu kata-kata terlantur 
Dari ranum bibir membasah 
Dalam desah nafas tak teratur 

Sepanjang bulan menyapa 
Selangkah pun ia tak kan bergerak 
Meninggalkan penantian masa 
Surat dari sebuah mentari berbunga 

Ketika surat datang 
Dibaca penuh lantang gelora 
Hingga kata demi kata tertuang 
Tanpa pernah ada akhirnya 


Choirul Anam 

Gamping, 20 Maret 2018
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Sebuah resensi buku "Memilih Jomblo"
oleh : Choirul Anam



Judul buku : Memilih Jomblo: Kisah Para Intelektual Muslim yang Berkarya Hingga Akhir Hayat
Pengarang : KH. Hussein Muhammad
Tebal : xviii + 158 hlm: 14 x 21 cm
Tahun terbit : 2015
Cetakan ke : 1
ISBN : 978-602-71777-5-8

Bagi sebagian orang, menjadi jomblo bukanlah suatu hal yang menarik. Risih, malu, serba salah, serta aneh, hal itu bisa saja terjadi apabila kita mendengar orang lain mengatai semacam itu. Jomblo, julukan yang melekat pada pria ataupun wanita yang tidak punya pasangan dan kerap menimbulkan rasa tidak nyaman takala kita mendengarnya. Bahkan sebisa mungkin julukan tersebut jangan sampai melekat pada diri kita, terutama bagi para wanita.

Tapi tidak untuk buku “Memilih Jomblo” karya KH. Hussein Muhammad ini, bukanya konyol dan memalukan, sosok Jomblo dalam setiap kisah yang digambarkan terasa heroik dan penuh wibawa. Kematian tokoh-tokoh yang diceritakan dalam setiap penggalan judulnya, memberikan inspirasi bagi para pembaca. Meskipun hingga akhir hayat mereka, mereka masih hidup tanpa pasangan alias membujang.

Buku ini diawali oleh riwayat sang sufi perempuan, Robi’ah Al-Adawiyah, yang memilih untuk tidak menikah karena begitu mencintai Tuhannya. Rabi’ah adalah perempuan cantik bersuara merdu yang karena kemiskinan keluarganya, ia mencari pekerjaan di kota Basrah dan akhirnya dijual kepada pemilik tempat hiburan malam. Namun karena ketekunan Rabi’ah dalam beribadah dan bermunajat kepada Allah, maka pada suatu fajar yang merekah ia dibebaskan. Hingga jadilah ia seorang Abidah pengabdi kepada Tuhan.

Selain Robi’ah, perempuan cantik yang namanya sering disebut-sebut oleh Sufi Falsafi adalah Layla binti Mulawwih, kekasih Qais Al-majnun. Siapa yang tidak kenal cerita cinta legendaris Layla Majnun yang tersohor itu. Dalam buku ini, K Hussein menempatkan kisah Layla yang akhirnya meninggal dalam keadaan membujang pada pamungkas buku. Layla dinisbatkan sebagai simbol sang Kekasih serta Keindahan, sementara Qais Al-majnun sebagai simbol para pencari, para pengembara, para pecinta dan para perindu. Mereka terpisah karena tradisi, Qais terasing di hutan rimba sementara Layla terpenjara di rumahnya sendiri.

Diluar dari dua kisah legendaris tersebut, K Hussein juga berhasil mengkliping 21 tokoh intelektual dunia yang memilih untuk tidak menikah hingga akhir hayatnya. Diantara tokoh-tokohnya ada nama-nama Ulama masyhur seperti Al-Thabari, Imam Zamakhsyari, Ibnu Taimiyah, Jamaluddin Al-Afghani, Sayyid Ahmad Badawi, Sayyed Quthb, dan masih banyak lagi.

Ambillah contoh sebuah kisah yang dituturkan penulis dalam buku itu, Abu Al-‘Ala Al-ma’ari. Dalam riwayatnya, Al-ma’ari secara terang-terangan menolak menikah dengan alasan kehidupan dunia terlalu banyak memberi kerusakan dan penderitaan. Menikah serta memiliki keturunan menurutnya adalah sebuah tindak kejahatan, anak-anak yang dilahirkan akan menjadi korban sosial. Bahkan ia menyesal karena sempat dilahirkan ayahnya di dunia dan berwasiat kepada para sahabat-sahabatnya untuk tidak menikah atau memiliki keturunan (hal.41).

Kita akan dibuat tercengang membaca riwayat tokoh demi tokoh dalam buku tersebut. Bagaimana tidak, tokoh yang diceritakan selalu memiliki karya berjibun yang mustahil dilakukan oleh pribadi zaman sekarang. Dalam setiap babnya pula, K Hussein menyelipkan alasan mengapa para tokoh tersebut memilih untuk tidak menikah. Diantaranya ada yang mengabdikan seluruh hidupnya untuk agama, ilmu pengetahuan, humanisme atau sosial kemasyarakatan. Menurut mereka, menikah hanya akan mengurangi kesempatan untuk bededikasi terhadap intelektualisme. Sebab konsekuensi dari menikah adalah memiliki keluarga dan anak sehingga harus ada tanggungjawab untuk merawatnya.

Terlepas dari alasan kenapa para tokoh yang tertera dalam buku tersebut tidak menikah, K Hussein juga tidak ketinggalan mengulas biografi tokoh-tokoh tersebut semasa hidupnya. Inilah yang menjadi nilai tambah tersendiri bagi buku Memilih Jomblo karyanya. Bahasanya yang sederhana, gaya bahasa yang ringan, dan struktur penyusunan yang sistematis membuat buku kumpulan biografi ini menjadi mudah untuk dipahami semua kalangan. Daya tarik kuat terletak pada pemilihan judulnya yang kontroversial: Memilih Jomblo. Namun jika lihat dari segi kontennya, Memilih Jomblo serasa kurang bumbu analisis sehingga menjadikan kumpulan biografi yang seharusnya serius ini terasa begitu populer. Namun sekali lagi, alasan tersbeut pula yang mmebuat buku Memilih Jomblo ini patut untuk dimiki sebagai bahan memperluas wawasan pembaca.


Choirul Anam

Belajar menulis di Pesantren Kreatif Baitul Kilmah,
Kasongan Permai, Yogyakarta.
Share
Tweet
Pin
Share
No comments


Sebuah Cerpen
oleh: Choirul Anam



Karmin berjalan menuju gubug dengan langkah tergesa. Dihampirinya Janadi yang siang itu tengah bersandar di dinding bambu, mencari angin. “Jan, aku mau bicara denganmu, penting!” Karmin meletakkan parangnya di atas balai-balai bambu. Nafasnya masih tersengal. Nampaknya ia baru saja mengambil jeda mengurus ladang tebunya.

“Bicara apa lek?” Janadi tidak menoleh. Pandangannya tersapu pada kuncup-kuncup tebu yang terombang-ambing tertiup angin. Mungkin dalam benaknya, begitulah pikirannya sekarang. Serba tidak menentu.

Pukul sepuluh pagi. Biasanya Ro’idah, bininya, menyusul ke ladang sambil membawakan rantang yang berisi nasi. Bukan hanya nasi, tetapi juga lauk pindang, sambal tempe, dan sayur bening kesukaannya. Namun Ro’idah sedang tersungkur malam tadi. Demam.

“Aku dengar” Karmin menoleh ke kanan dan ke kiri, takut-takut ada orang yang mengawasi “Kamu mau menjual ladang tebu ini ke pabrik?” Karmin langsung menuju ke topik pembicaraan.

Janadi terdiam.

Bulan lalu, Pak Kaji, menjual ladang tebunya yang berukuran dua hektar kepada Pabrik. Alasannya, ladang miliknya akan dipasangi rel. Yang akan dilalui lokomotif pengangkut tebu. Tentu saja, harganya tidak seberapa. Namun harga gula yang akhir-akhir ini fluktuatif membuat Pak Kaji tidak mau ambil pusing.

Minggu lalu, Kamal, yang ladangnya tidak lebih dari satu hektar juga menjualnya. Ladang tebu di sampingnya yang milik pabrik, digarap dengan mesin-mesin canggih yang didatangkan dari Belanda. Sementara Ia hanya bermodalkan cangkul dan sekop. Ia mengeluh selalu tombok ketika panen. 

Janadi memandangi tebu-tebu di ladangnya yang sudah mulai meninggi. “Sebentar lagi lek” ucapnya datar.

“Jan” seru karyamin “kamu lihat itu kan” jarinya menunjuk pada sebidang tanah yang tidak rata di tengah rerumpunan tebu. bergunduk-gunduk diselingi tancapan kayu-kayu yang sudah lapuk.

“Aku khawatir Jan, jika kamu menjualnya kepada pabrik, mereka akan menggusur makam-makam itu.”

Janadi menatap wajah Karmin lamat-lamat.

“Lantas aku harus menjualnya kepada siapa lek?”

Karmin tidak menjawab.

Pemakaman tua itu memang berada tepat di tengah ladang Janadi. Bahkan sebelum ladang itu diwariskan oleh orangtuanya. Kuburan-kuburan itu telah lebih dulu menggunduk di tengah persawahan. Tidak jelas memang siapa pemiliknya. Namun tetap saja, bukan hal mudah, menjual ladang yang menyimpan pekuburan orang.

“Aku cuma takut kamu kena kenapa-napa Jan” suara Karmin memelan. “Kamu tahu kan akibatnya?”

Janadi mendengar.

“Kamu itu, sudah aku anggap seperti anakku sendiri.”

“Terimakasih lek” Janadi memperbaiki sandaran duduknya. Angin sawah membelai rambutnya yang ikal. “Saya juga tidak akan bertindak sembrono, lek. Saya takut kualat.”

Karmin sedikit lega mendengar keputusan Janadi.

“Tapi mau bagaimana lagi lek,”

Karmin buru-buru menoleh, kedua alis matanya seolah beradu.

“Saya selalu tombok setiap panen, hasil penjualan tebu tidak sebanding dengan biaya yang saya keluarkan” keluh Janadi.

Karmin mangut-mangut.

“Saya sebenarnya sudah lama ingin meratakan kuburan yang hanya lima buah itu”

Bola mata Karmin membundar. Seolah tidak percaya dengan apa yang dikatakan janadi.

“Kamu tahu kan Jan, salah satu kubur itu milik siapa”

Janadi manyun, memandang anyaman pandan yang menyelimuti balai-balai bambu. Gubugnya yang setinggi tiga meter menyuarakan gesekan-gesekan lembut.

“Danyang”

“Danyang dusun kita”

Janadi menatap lamat-lamat kuburan itu satu persatu. Diantara lima itu, ada salah satu yang terlihat membukit dipayungi pohon pepaya. Satu kubur itulah yang membuat dirinya berkali-kali berfikir ulang saat hendak menindak makam-makam itu.

Mereka berdua saling bertatapan.

“Jangan sampai mengorbankan nenek moyang kita sendiri” ujar Karmin teguh “tapi kau juga harus hati-hati dengan politik pabrik”

Janadi berkerut dahi, menurutnya urusannya ini sudah ruwet. Apalagi kalau ditambah dengan provokasi karmin yang terkenal mbulet itu. Bisa jadi tambah runyam.

“Saya mau pulang dulu lek, biniku meringkuk di kamar, demam.” Janadi menuruni tangga bambu. Meninggalkan Karmin yang masih duduk di atas gubug kecil.

Keesokan paginya Janadi menemui Kang Barjo di rumahnya. Syukur Kang Barjo selalu menyambutnya dengan hangat. Sehangat uang yang diterimanya setiap kali panen.

“kapan nebang, Jan?” Kang Barjo menyulut rokoknya. Duduk teratur di emperan setiap pagi.

“Belum tahu Kang, bingung mau nyari utangan kemana?”

“Lha, biasanya kemana?”

“biasanya sih saya hutang ke Pak lurah, kang, tapi berhubung minggu depan beliau punya gawe, jadi..” kata-katanya tertahan.

Kang Barjo mengangguk-angguk seolah sudah mengerti kemana arah pembicaraan Janadi.

Sebagai salah satu mandor di Pabrik Gula, Ia memiliki kewenangan meminjamkan uang kepada para petani tebu yang membutuhkan. Tapi sayang. Uang itu selalu dibisniskan.

“Butuh berapa kamu?”

“Sepuluh juta, kang”

Kang Barjo membenamkan putung rokoknya kemulut asbak. Ia tertawa getir. Disambung dengan bahak yang amat melecehkan.

“Kamu tahu kan, peraturannya”

Janadi menelan ludah.

“limapuluh persen”

Janadi melelehkan pundaknya. Belum tentu harga gula musim ini lebih bagus dari musim kemarin. Tahun lalu ketika ia berhutang kepada pak lurah, harga gula sedang turun drastis. Sontak ia rugi. Masih baik Pak lurah tidak meminta bunga.

“Tolonglah Kang, jangan sebesar itu” Janadi memelas.

Kang Barjo membelak tajam. Kedua matanya melotot.

“KAMU INI MAU HUTANG APA TIDAK?”

Janadi meremas jari-jarinya, sungguh kini ia benar-benar seperti berada di pucuk batang tebu. Terombang-ambing.

Kalau ditunda lagi, tebu-tebu itu akan semakin menua. Dan kalau terlalu tua rendemennya tidak cukup bagus. Dan harga jualnya juga pasti akan menurun.

Tapi…

“Kalau tidak” mandor Barjo menahan kata-katanya sejenak “Kamu jual saja ladangmu itu kepada pabrik”.

Kata-kata itu bagaikan petir yang menyambar telinga Janadi.

“Aku beri kamu waktu tiga hari untuk memikirkannya”

Ia betul-betul tidak habis pikir. Betulkah ini ada hubungannya dengan politik pabrik. Ia masih terngiang-ngiang akan ucapan Karmin kemarin.

Janadi pulang dengan tangan hampa. Mandor Barjo memberinya pilihan yang tidak masuk akal. 

Siang itu juga Karmin menemuinya di Gubug.

Janadi memandangi hamparan tebu di ladang yang sudah mulai berbunga. Glugu. Bunga-bunga itu memang terlihat indah. Seperti tertancap di batang-batang tebu. melambai-lambai tertiup angin. Putih ujungnya bagaikan ilalang. Bocah-bocah berlarian memotong Glugu sambil bermain panah-panahan.

“Mungkin ada benarnya memang” kata Janadi tiba-tiba.

Karmin menyimak dengan seksama.

“Kita adalah petani tebu, tapi tidak pernah menikmati manisnya gula”.

Angin utara berhembus pelan, menerbangkan selampar-selampar kering ke segala arah. Suasana mendadak berubah, mellow.

Karmin membuntuti mata janadi. Ia sepertinya sudah pasrah. Mengadu pasal utangan yang tidak kunjung didapatkannya.

Pak lurah lusa akan menanggap orkes. Pantas saja musim ini Janadi tidak mendapat utangan. Ia mengeluh pelan. Sedangkan Kang Barjo, orang sekampung tahu sendiri bagaimana tabiatnya. Kemudian Karmin, ah, Karmin cuma orang-orang kebanyakan. Nasibnya, tidak jauh berbeda dengan dirinya.

“Mungkin kamu harus memutar sudut pandangmu, Jan” ujar Karmin.

“Sudut pandang bagaimana, lek?”

“Tebu, sebelum menjadi gula, harus mau digilas dulu oleh mesin-mesin pabrik”

Janadi berfikir diam. Bola matanya menerawang, mencari-cari maksud pembicaraan Karmin.

“Orang, sebelum dapat menikmati manisnya hidup, harus rela merasakan pahit terlebih dahulu”

“Jadi begitu filosofinya”

Bisa jadi, barangkali Karmin sedikit banyak mewarisi darah seorang filusuf.

***

Tiga hari kemudian, tepatnya malam Senin, warga dusun semua diundang ke tasyakuran pak lurah. Panggung selebar limabelas meter digelar. Grup orkes dari kota didatangkan. Siap menghibur warga dusun yang bulan-bulan ini sedang panen tebu.

Tetapi Janadi lunglai, ia tidak kelihatan bergairah sebagaimana bila ada pagelaran orkes. Sejak tebunya berbunga, Ia belum juga bisa memilih. Alternatifnya terasa begitu pelik. Bagai memakan buah simalakama.

Tebu-tebu itu selalu membayang di kepalanya, tapi makam-makam itu, tak luput menghantui dirinya sendiri. Ditambah lagi soal Kang Barjo.

Dan tawaran itu. Besok adalah yang terakhir. Namun cerita Karmin soal danyang dusun?

“Tidak ikut menonton, Mas?” Tanya bininya yang baru saja keluar dari kamar. Aroma pandan menyeruak hidung, pastilah ia lekas berdandan.

“Kamu pergilah dulu, kepalaku masih pusing” keluh Janadi mengusap-ngusap ubun-ubunya.

Sementara bininya meninggalkan rumah sembari menggandeng anaknya yang bungsu. Dangdut di rumah Pak lurah terdengar mulai didendangkan.

Berlangsung satu lagu. Dua lagu. Tiga lagu. Janadi masih mendengar iramanya sayup-sayup.

Pak lurah pun tidak ketinggalan ikut menyumbangkan suara peraknya. Meski sedikit sumbang. Tapi karena ia yang punya hajat. Penonton senang-senang saja. “Anggap saja itu bayaran, Hahaha” teriak Karmin, mengambil posisi paling depan. 

Namun tiba-tiba Pak lurah berhenti menyanyi. Mic yang digenggamnya seketika terjatuh. Matanya membulat memandang jauh ke suatu arah. “Apa itu?” desisnya.

Musik pun berhenti. Para pemain menyusul bengong melihat sesuatu yang tidak biasa. Penonton pun dengan gamang menolehkan kepalanya ke belakang.

Terlihat asap pekat mengepul ke udara. Langit kelam yang malam itu lengang diwarnai kobaran api yang merah. Warga yang sedari tadi berkumpul di depan panggung berhambur ke lokasi kejadian.

“Kobongan.. Kobongan..” warga berduyun-duyun ke sawah belakang dusun sambil memukul kentongan.

Ladang tebu terbakar. Asap hitam pekat mengepul ke udara, Kobaran api terlihat menjilat-jilat.

Langes, daun tebu yang terbakar berterbangan. Berhamburan ke udara.

Tidak sedikit warga yang ikut memadamkan api, termasuk Karmin. Ia gelagapan melihat kuburan-kuburan turut terlahap kobaran api. Dari kejauhan, ia mendengar suara seseorang bagai ringkikan.

***


Yogyakarta, 21 September 2015

Choirul Anam
Belajar menulis di Pesantren kreatif
Baitul Kilmah, Kasongan Permai.
Share
Tweet
Pin
Share
No comments

Sebuah Cerpen

Oleh : Choirul Anam



Betapa kejadian itu tak mudah lekang dari ingatan. Saat Darman melintasi perbukitan antara Sintang dan Sanggau. Jalan lintas Melawi. Saat itu Jalanan lenggang, gelap dan senyap. Diiringi deru mesin dan aroma bensin sebuah mobil. Disertai bau kematian dan darah seekor kucing yang terkapar.

***
Kurang Asam! Teriaknya dalam hati. Setelah menginjak rem dalam-dalam, kedua ban belakangnya gesrot. Gesekan antara karet dan aspal agaknya terlalu kuat sehingga menimbulkan bau hangus menyengat. Tidak disangka, bayang berkelebat yang hampir membuatnya jantungan berhasil dihindari. Di tengah hutan belantara tanpa seorangpun yang menemani.

Memang pada saat nyetir tadi ia agak mengantuk. Maklum ini adalah malam Sabtu di mana para pekerja kantor di pedalaman biasanya lembur dan pulang ke rumahnya masing-masing. Akhir minggu adalah waktu menikmati libur bersama keluarga. Brengsek! Umpatnya tak berkesudahan. Ia memukul-mukul setir seraya turun lantas membanting pintu. Hanya sekedar memastikan kondisi mobil dalam keadaan baik-baik saja. Namun betapa terkejutnya ia ketika memeriksa bagian depan. Seekor Kucing bersimbah darah kejang-kejang, menghembuskan nafas untuk terakhir kalinya.

“Gila. Aku menabrak seekor Kucing” Darman hampir tidak percaya. Tadi di kantor sebelum pulang sebenarnya ia sudah merasakan sesuatu yang ganjil. Sesuatu yang aneh. Yang tidak biasa. Kata orang-orang tua sih itu firasat. Namun ia berfikir itu hanya ketakutan sesaatnya saja. Sepintas lalu. Namun jika firasat yang ia rasakan sore itu adalah terbukti, maka ada alasan untuk membenarkan firasat itu meski hanya kebetulan. Setidaknya begitulah cara orang-orang tua membenarkan teorinya sendiri.

Tapi yang terpenting kali ini adalah apa yang harus Darman lakukan setelah mengetahui bahwa mobilnya baru saja menabrak seekor kucing sampai mati. Ia tahu bahwa dirinya sedang berada di tengah hutan belantara. Perbukitan Sintang membujur dari barat ke timur. Sementara langit membentang menyajikan taburan bintang-bintang seperti wijen. Jam di pergelangan tangannya menunjukkan pukul satu dini hari. Matanya menyapu bersih persekitaran namun tak satupun rumah penduduk ia dapati. Sejauh mata memandang hanya hutan, hutan dan hutan.

Darman masuk lagi ke dalam mobil. Tidak terasa dahinya berkeringat. Dalam kepanikan kecil itu ia tidak bisa berpikir secara jernih. “kenapa harus kucing?” tanyanya dalam hati. Kalau saja yang ditabraknya saat itu adalah babi, musang, atau binatang lain, pasti ia sudah berlalu meninggalkannya.

Ia teringat pada saat usianya masih kanak-kanak, Ustad Haris pernah berkata bahwa kucing adalah salah satu hewan kesayangan nabi. Kemudian diceritakanlah kisah Abu Hurairah yang rela melepaskan bajunya demi menyelimuti seekor anak kucing di kala hujan. Begitu sayangnya ia kepada binatang berbulu lebat itu sampai-sampai ia dijuluki Abu Hurairah, bapak si anak kucing. “hayo, siapa yang di rumah punya kucing piaraan?” Tanya Ustad Haris di suatu sore.

Ketujuh anak yang diajarnya mengangkat telunjuk jari tingi-tinggi sambil tersenyum kecuali dirinya.

“eh? Darman sorang yang takde Kucing kat rumah?”
“tak ustad” Ia menggeleng “bapak dan mamak tak ijinkan Darman simpan kucing kat rumah”
“Oo.. Bapak dan Mamak tak suka Kucing ke?”
“tak ustad” Darman menggeleng lagi. Itulah kenapa sejak kecil Darman tidak begitu suka kucing.

Ustad Haris melanjutkan kisahnya sore itu dengan kesimpulan yang amat menarik. “Meskipun kita tidak suka terhadap kucing, namun paling tidak kita tidak boleh membiarkan kucing tersebut terlantar kelaparan.” Setidaknya begitulah cara Ustad Haris menutup pengajiannya setiap sore. Selalu ada petuah-petuah bijak dari kisah-kisah yang diceritakannya.

Namun itu dua puluh tahun lalu. Kalau saja Ustad Haris ada di jalanan perbukitan Sintang bersama Darman waktu itu, pastilah Darman sudah disuruh untuk menguburkan kucing mati itu. Namun suasana sepi, gelap dan sendiri di tengah hutan belantara membuat Darman merasa kerdil. Nyalinya kali ini benar-benar ciut, benar-benar tidak sepadan dengan pundaknya yang kian tumbuh kekar.

Belum ada satupun kendaraan melintas di jalanan lengang itu. Ingin rasanya ia segera menghidupkan mobil, menginjak pedal gas kuat-kuat, dan segera meninggalkan tempat terkutuk itu. Persetan dengan kucing mati. Salah sendiri sudah tahu jalan raya, ada mobil kencang masih juga nyebrang tanpa menengok.

Namun di sisi lain ia tidak tega meninggalkan kucing itu tergeletak di jalanan begitu saja. Sedikit banyak hal itu tidak terlepas dari kelalaiannya dalam mengemudi. Ngebut. Ngantuk. Arghh! Peristiwa menabrak kucing itu membuatnya diliputi perasaan bersalah yang amat sangat.

Darman mengacak-acak rambutnya sendiri. Kini dua perasaan membimbangkannya secara bersamaan. Dan mau tidak mau saat ini juga ia harus mengambil keputusan. Di satu sisi ia merasa bahwa kematian kucing itu bukan salahnya. Di sisi lain ia merasa bersalah kalau meninggalkan kucing itu begitu saja.

Tiba-tiba layar ponsel di dashboard mobilnya bordering. Mama. “halo Ma” Darman langsung mengangkatnya.

“Pa, kok belum sampai rumah juga?”
“Iya nih ma, di batu sepuluh jalan perbukitan Sintang, papa langgar kucing sampai mati.”
“Ya Alloh Papa.. segera kubur Pa, kucingnya”
“Emang kenapa ma?”
“Pokoknya mama tak nak terjadi sesuatu sama Papa, segera kubur, segera balik”

Klik. Panggilan pun dihentikan. Alih-alih menanyakan anak gadisnya apakah sudah tidur atau belum. Kalimat terakhir istrinya malah semakin membuat persendian kaki Darman melemas. Ia memang pernah mendengar cerita dari mulut ke mulut di kampungnya. Ada orang yang setelah menabrak kucing tidak mau menguburkan. Tidak lama setelah itu, ia terus dihantui suara kucing. Kepalanya dipenuhi suara meong-meong tak berkesudahan. Hingga akhirnya diapun menjadi gila.

Tapi lagi-lagi Komat mengingat. Di sebuah pedalaman Kalimantan, ada beberapa orang di sebuah kampung yang makan daging kucing. Kucing liar yang hidup di tepi hutan itu ditangkap, disembelih, dan diolah layaknya daging ayam. Dan selama bertahun-tahun tidak pula terjadi apa-apa pada mereka. Bahkan pernah suatu hari mereka menawarkan makan bersama dengan lauk kucing ketika berkunjung di kampung itu.

Lama Darman berpikir hingga akhirnya sampailah ia pada kesimpulan untuk menguburkan kucing itu saat itu juga. Dengan tangan gemetar, ia mengangkat kucing mati itu dengan sebuah jaket. Diletakannya kucing itu pada bagian tanah yang tidak rata. Diambilnya linggis kecil dari dalam mobil dan mulailah ia menggali, menggali dan terus menggali.

Sampai pada kedalaman tertentu ia berhenti. Dipindahkannya kucing lemas itu ke dasar lubang dengan sangat hati-hati. Entah kenapa, saat menutup tubuh kucing itu dengan jaket yang telah bersimbah darah, Darman teringat akan anak gadisnya yang sedang tidur nyenyak di rumah. “Apakah kucing ini juga memiliki keluarga?” tanyanya dalam hati.

Ia mengubur kucing itu dengan rasa takut bercampur iba. Di tengah hutan belantara, di bawah lagit bertabur bintang, dan tidak ada siapapun di sana.

Setelah dirasa tumpukan tanah itu cukup tinggi, ia menancapkan sebuah ranting akasia tua yang telah patah. Ditaburkannya dedaunan pakis kering. Kemudian ia berdoa ala kadarnya. Terbesit perasaan aneh dalam hati saat ia tengah menyudahi prosesi pemakaman kucing itu. Pertama, bukannya ia hanya seekor kucing. Lagipula kenapa ia menguburkannya bagaikan ia seorang manusia. Kedua, selama proses penguburan dari awal sampai akhir, seperti ada yang sedang memerhatikannya. Tetapi entah siapa.

Baru ketika ia berbalik hendak masuk ke dalam mobil, seekor kucing abu-abu beridiri mematung di seberang jalan. Rupanya ia yang sedari tadi memerhatikannya.

“Kau siapa?” Tanya Darman. Ia bersikap tak acuh sembari masuk ke dalam mobil. Membuka kaca jendela. Melihat kucing yang dari tadi terus mematung itu. Sedikit menyeramkan sih tapi tidak menjadi masalah. Baginya, malam terburuk karena harus mengubur seekor kucing seorang diri di tengah hutan belantra berakhir sudah sampai di sini. Tepat jam 3 dini hari ia harus segera pulang dan menceritakan semua yang terjadi kepada istrinya.

Anehnya, kucing di seberang jalan itu masih saja tidak beranjak dari tempatnya semula. Kedua sorot matanya lurus ke arah Darman. Seperti entah memendam perasaan apa. Atau barangkali ia adalah salah satu anggota keluarga kucing yang mati tadi. Betapa menyedihkannya kucing itu jika harus menanggung hidup sebatang kara karena salah satu atau mungkin satu-satunya anggota keluarga telah tiada.

“Tapi itu bukan salahku” ucap Darman tiba-tiba. Mesin mobilnya sudah meraung-meraung. Sejengkal saja ia melepaskan telapak sepatunya dari pedal rem, mobilnya akan melaju kencang menelusuri jalanan. Tapi lagi-lagi hati kecilnya iba melihat kucing itu. Apakah kali ini ia benar-benar sebatang kara gara-gara kucing satunya ditabrak. Lagipula kejadian tadi juga sudah terlanjur. Ia tidak mungkin bisa menghidupkan kucing mati itu.

Darman mengusap wajahnya menenangkan diri. Digesernya perseneleng mobil ke mode parkir. Dibukakanlah pintu mobil tengah seraya memberi isyarat kepada kucing itu agar masuk ke dalam. “Barangkali kau akan punya keluarga jika ikut ke rumah” ucapnya “biar nanti gadis kecilku yang akan memberimu nama.” “kau akan aku anggap seperti keluarga sendiri”imbuhnya. kucing itu pun bangkit seraya berjalan menuju mobil. Namun naas ketika tengah menyebrang, sebuah mobil dari arah utara melaju kencang. Tanpa ampun mobil hitam pekat itu menabrak si kucing hingga terpental beberapa meter ke bahu jalan. Beberapa detik kemudian kucing itu mati. Dan suara mobil hitam pekat tadi perlahan hilang ditelan hutan juga perbukitan.

“Kurang asam” teriak Darman memaki.

***

Pendowoharjo, 12 Maret 2018
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Older Posts

Sohibul Bait

Choirul Anam

"Selalu berusaha untuk lebih baik tanpa menyakiti orang lain" Silaturahim?

Jendela Sosial

  • Intagram
  • Twitter
  • Facebook

Etalase

  • Cerpen (3)
  • Esai (1)
  • Puisi (3)
  • Resensi (2)

Jamuan Terbaik

Seekor Kucing Yang Mati Tertabrak Mobil

Album

  • ▼  2018 (7)
    • ▼  Maret (7)
      • Desa Tempat Kita Kembali
      • Reuni di Rumah Duka
      • Buku Tua
      • Surat dari Bunga Matahari
      • Mengungkap Sisi Lain Sosok Yang Tidak Menikah
      • Tebu dan Makam di Tengah Sawah
      • Seekor Kucing Yang Mati Tertabrak Mobil
  • ►  2015 (1)
    • ►  Mei (1)
  • ►  2013 (1)
    • ►  Desember (1)

Warung Pojok

Penerbit dan Toko Buku Penerbit dan Toko Buku

Created with by ThemeXpose